Share/Bookmark

Rabu, 20 Januari 2010

KEBIJAKSANAAN HIDUP BAGIAN I ( FILSAFAT )


Orang yang mengejar kekayaan seringkali diejek dengan berbagai sebutan; mata duitan, serakah, perampok. Adalah alamiah kalau manusia mengejar sesuatu yang gampang dipertukarkan dengan benda-benda atau barang-barang lain, karena akan bisa mempermudah kehidupan. Hanya saja kehidupan yang sepenuhnya dicurahkan untuk mengejar kekayaan pada prinsipnya adalah kehidupan yang tidak berguna, kecuali kita tahu bagaimana kekayaan itu diubah menjadi kenikmatan. Hal itu tidak gampang karena memerlukan seni, peradaban, dan kebijaksanaan. Mengejar kepuasan indrawi tidak akan memberikan kenikmatan untuk jangka panjang; orang perlu paham tentang tujuan hidup, di samping seni untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Laki-laki seribu kali lebih bergairah untuk menjadi kaya dibandingkan untuk menjadi berbudaya, meskipun sangat pasti bahwa keberadaannya ( “is” ) jauh lebih bisa memberikan kebahagiaan daripada apa yang dimilikinya ( “have” ). Seorang manusia yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan waktu luangnya; ia bingung mencari sensasi-sensasi baru dari satu tempat ke tempat lain; dan akhirnya ia ditakhlukkan oleh kebosanan yang selalu membayang-bayanginya.
Jadi, bukan kenyataan melainkan kebijaksanaanlah yang merupakan jalan. Manusia adalah makhluk yang berkehendak (yang sumbernya terletak pada system reproduktif), dan baru kemudian sebagai subyek dari pengetahuan murni (yang sumbernya adalah otak). Perlu dikatakan bahwa pengetahuan, kendati lahir dari kehendak, bisa menguasai kehendak. Intelek kadang-kadang menolak untuk patuh pada kehendak, misalnya ketika secara sia-sia kita mengingat-ingat sesuatu. Akan tetapi, itu baru permulaan karena jika ditinjau lebih jauh lagi, ternyata intelek pun bisa menguasai kehendak. Sesuai dengan renungan, seorang manusia menderita….. oleh apa yang sangat penting, atau mendesak seperti bunuh diri, hukuman mati, perang tanding, dan berjuang melawan kehidupan yang penuh marabahaya dan pada umumnya, oleh hal-hal yang terhadapnya seluruh sifat dasar hewaninya berontak. Dalam keadaan seperti itu kita bisa melihat sampai sejauh mana rasio menguasai nafsu hewaninya.
Kekuatan intelek atas kehendak bisa kita kembangkan lebih jauh. Keinginan bisa dikendalikan atau diarahkan oleh pengetahuan, sejauh intelek mengenal lebih jauh keinginan-keinginan kita sendiri. Semakin kita mengenal nafsu-nafsu kita, semakin kurang kita dikuasai oleh nafsu-nafsu dan tidak ada yang bakal melindungi kita dari paksaan atau kekuatan luar, selain ontrol dari kita sendiri. “Kalau kamu hendak membuat apa saja tunduk kepadamu, maka tunduklah kamu pada rasiomu. Yang paling mengagumkan dari semua yang sangat mengagumkan bukanlah penakhlukan atas dunia, melainkan penakhlukan atas diri sendiri”.
Filsafat, pada akhirnya, berfungsi sebagai alat untuk memurnikan kehendak. Akan tetapi filsafat harus dimengerti sebagai pengalaman dan pemikiran, bukan melulu sebagai pembacaan atau studi pasif.
Banyak orang yang serupa dengan fuga vaculi (“alat penyedot udara hampa”. Jiwa mereka sangat miskin, sehingga mengambil secara paksa pikiran-pikiran orang lain….. sangatlah berbahaya membaca suatu masalah sebelum kita sendiri memikirkannya…. Ketika kita membaca, orang lain berpikir untuk kita; kita semata-mata mengulang proses mental si penulisnya. Demikianlah-jika seseorang menghabiskan seluruh waktunya untuk membaca,…… Pengalaman tentang dunia barangkali bisa dilihat sebagai suatu bentuk teks, dan terhadapnya refleksi dan pengetahuan membentuk komentar. Jika terdapat sejumlah besar refleksi dan pengetahuan intelektual, dan sangat sedikit pengalaman, maka hasilnya adalah seperti buku yang setiap halamannya mempunyai dua garis teks untuk ratusan bahkan jutaan komentar.
”Maka hiduplah sebelum membaca buku-buku; dan bacalah teks sebelum membaca komentarnya. Satu karta jenius jauh lebih baik daripada seribu komentar”.
Dalam keterbatasan tersebut, sangatlah bergunamengejar peradaban atau kebudayaan karena kebahagiaan-kebahagiaan kita tergantung pada apa yang ada di dalam kepala kita, bukan pada apa yang kita miliki di dalam kantong kita. Kemasyhuran atau popularitas adalah bodoh; “kepala-kepala orang lain merupakan tempat celaka untuk dijadikan rumah kebahagiaan sejati kita”. Kebahagiaan yang kita terima dari diri kita sendiri jauh lebih besar daripada yang kita dapatkan dari lingkungan kita. Benar apa yang dikatakan Aristoteles “bahagia berarti menjadi diri yang sederhana”.
Jalan keluar dari kejahatan kehendak adalah renungan atau templasi yang cerdas tentang kehidupan. Intelek yang tidak mementingkan diri sendiri ibarat minyak wangi yang membasuh kegagalan dan kebodohan dari dunia kehendak. Begitu banyak manusia yang tidak pernah sanggup untuk tidak mengamati apapun kecuali sebagai objek-objek keinginan dan oleh sebab itu, mereka merasa sengsara. Maka, amatilah hal apapun sebagai objek-objek pemahaman……… ^_^

0 komentar:

free counters
 

©2009 MEGUMI | by Sagan's