Share/Bookmark

Selasa, 17 November 2009

“Federalisme dan Demokrasi”

Totaliterisme, oligarki ekonomi-politik, dan negara kesatuan, menampakkan wajah terburuknya hampir sepanjang 60tahun Republik Indonesia. Demokrasi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pengjormatan HAM menjadi slogan dan karikatur kehidupan publik. Korban manusia dan lingkungan tak terhitung akibat ulah mereka yang mendapatkan keuntungan dari kondisi anti-demokrasi hingga hari ini.
Challenge dari Diamond yang “meramalkan kiamat” hilangnya Republik Indonesia dari peta dunia, mestilah mendapatkan response tuntas, bukan sekedar tumbal sulam. Demokrasi, perlindungan HAM dan ekologi, serta kesetaraan gender yang berporos pada kemanusian, keadilan dan solidaritas global adalah “ideologi” yang menantang semua ideologi lama dari kiri hingga kanan. Ideologi dan agama apakah yang tidak akan dikubur pemanasan global, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan kerusakan oligarki kapital (nasional dan global)?
Menjalankan secara tuntas road map transisi demokrasi memang bukan obat sapu jagat. Tetapi memberikan jalan terbuka, pandangan lebih luas, dan ruang alternatif yang membebaskan semua energi kreatif pada setiap individu, dari setiap sudut wilayah Indonesia. Tugas mulianya adalah menjadikan satu pojok di peta dunia bernama Republik Indonesia, sebagai mata air kemanusiaan, keadilan, dan solidaritas global.
Energi kreatif individu otonom dan bebas sebagai sumber mata air yang tak pernah kering. Ruang politiknya adalah negara federasi yang menjunjung tinggi cita-cita otonomi yang sempurna dan hidup, seperti yang dirumuskan Mohammad Hatta dalam Menuju Republik Indonesia (1925), menegaskan program politiknya, “membentuk republik federasi dari pelbagai pulau-pilau Indonesia.” Negara Federasi adalah cita-cita pendiri republic!
Jadi, apakah kita harus memilih Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan lenyap seperti Majapahit, ataukah memilih Negara Federasi yang mempertahankan “keabadian” Republik Indonesia?

0 komentar:

free counters
 

©2009 MEGUMI | by Sagan's